Lelaki Muda, Google, dan Ulang Tahun

Dimas Eka Ramadhan
3 min readOct 21, 2023
Photo by Annie Spratt on Unsplash

Oktober adalah amukan api yang masih menggelora—memedihkan—membakar ingatan Alfian bertahun-tahun lamanya.

Bagi Alfian, hari ulang tahun tak ubahnya bagai kertas-kertas hampa dan kembang api yang kandas menyala. Ia meletakkan kebencian pada hari ulang tahunnya sebab di hari suram itulah fondasi keluarganya remuk berceceran. Di tanggal tujuh Oktober puluhan tahun silam, kedua orang tuanya menggunting tali perkawinan dan mendamparkan Alvian kecil sendirian di tangan dunia yang beku.

Alfian mengubur ingatan hari ulang tahunnya dalam-dalam, menopenginya dari orang-orang, dan kehilangan hasrat untuk merayakan apa-apa. Tidak pernah ada pesta, kartu ucapan doa, kue manis, dan balon bertaburkan warna. Tidak ada—yang ada hanyalah musik-musik hening dan irisan-irisan kenangan yang menancapkan rasa sakit.

Ketika tanggal tujuh Oktober terpampang gamblang di eksemplar kalender, Alfian senantiasa melangitkan butiran doa, "Tuhan, jika Engkau mampu, tolong musnahkan memori tanggal ulang tahun dari dalam kepalaku."

Bagi Alfian, tujuh Oktober telah menjelma duri runcing yang bersemayam dalam dagingnya. Ia hanya ingin lupa—itu saja. Namun, lupa tidak seenteng yang ia angan-angankan. Lupa adalah sehelai kertas berisi alamat asing tanpa nama. Lupa adalah kunci mini yang tersembunyi dalam tumpukan jerami. Ingatan mampu ia samarkan rapat-rapat, tetapi bekas sejarahnya tetap terukir kekal meskipun ia berjuang melarikan diri ke negeri terjauh.

***

Muram malam yang gigil—dari luar rumah terdengar derai hujan menyanyikan alunan kesedihan. Jam digital di atas meja menyuguhkan pukul 20:30 dan aura kesunyian menyayat habis tubuh Alfian. Selepas seharian berperang— berdarah-darah—menentang otoritarian ingatannya sendiri, ia akhirnya tak sengaja terbenam dalam pangkuan mimpi.

"Ah, lorong-lorong yang gelap kembali…."

Lagi-lagi berulang. Lingkaran mimpi buruk abadi yang repetitif—bermandikan cuplikan-cuplikan ingatan bawah sadar yang kerap Alfian pendam. Dalam mimpinya itu, masa lalu adalah figur antagonis—mereformasi diri jadi hantu gentayangan yang mengejarnya tanpa kenal rehat dan kelak selalu berakhir dengan seluruh layar menghitam.

"Siapa pun, tolong rengkuhlah tanganku. Di sini dingin … Aku sudah tenggelam teramat dalam."

"Aku tak ingin … Tak ingin mengulang ini ratusan kali lagi…."

Alfian terbangkit dengan jantung meletup-letup. Keringat dingin bersimbah merayapi kulitnya. Sementara itu, langit malam kian menyuram dan menikamkan hawa mencekam. Tanpa termenung berlama-lama, ia segera meraih buku novel yang baru saja dibeli siang tadi untuk memadamkan suasana yang tegang.

***

Langkah bumi bergulir dan dua jam waktu telah gugur. Puluhan ribu kata-kata dalam novel itu sudah terekam mendalam di bilik memori Alfian. Sehabis menamatkan bacaan itu, ia melayangkan pandang ke langit-langit dan membekukan tubuh. Isi novel tadi mencetuskan bara pergolakan dahsyat di sudut rawan hatinya.

Cerita novel tersebut sebenarnya hanya melukiskan potret keluarga yang dilumuri kebahagiaan dan silih rangkul-merangkul. Sederhana, tetapi topik ini sensitif dan bisa membuka paksa luka lamanya yang belum mengering. Apalagi, di dalam novel itu tersimpul kilasan perayaan ulang tahun yang menambah subur luka untuk berbiak.

Sepi kian membara dan hujan pertanyaan tajam jatuh menghantam tembok kepala Alfian. Kepalanya sekarang bak kemelut kota yang diguncang perang.

"Mengapa harus aku? Padahal aku tidak pernah memohon untuk dilahirkan."

"Tuhan, jika aku tercipta lagi bisakah aku memilih untuk lahir di keluarga bahagia?"

Dari sini, kesuraman akhirnya bermekaran seperti bebungaan sakura di musim semi.

***

Secara diam-diam—selama berkelaluan—
bibit-bibit rasa sakit dalam batin Alfian terus berkembang biak tanpa reda.

Tiga puluh menit berlalu. Kecamuk badai dalam benaknya padam dan luka-luka tersembunyi yang tadi terbit pelan-pelan tenggelam. Alfian lalu berniat membuka laptop dan mengonsumsi video yang dapat menetaskan tawa untuk mendinginkan api keperihan di ruang dadanya. Ketika pandangannya bertaut pada beranda utama Google, ia mematung—matanya berpendar seperti angkasa yang diguyuri bintang.

"Selamat ulang tahun, Alfian. Google ingin ikut merayakan hari spesial bagi Anda!"
Kalimat manis itu terpajang—dipercantik ilustrasi kue-kue mini, kembang api, dan balon warna-warni.

Alfian termangu—tidak percaya. Inilah momen perdana dalam hidupnya menerima ucapan selamat ulang tahun. Beku hatinya meleleh. Perasaan yang terpendam akan tumpah bagai udara di balon yang pecah.

Perlahan air matanya luluh. Kehangatan mencairkan kebekuan—dan kini kilauan duka terlukis di kanvas matanya.

Jakarta, 15 Oktober 2023

--

--

Dimas Eka Ramadhan

Gemar menggambar, menulis prosa/puisi, fotografi, dan kerajinan tangan