31 Desember

Dimas Eka Ramadhan
2 min readNov 6, 2023
Photo by Антон Дмитриев on Unsplash

Di tanah perang tidak ada perayaan kembang api. Anak-anak mengatupkan mata berharap neraka akan padam.

Pukul 23:30. Tahun baru hampir mekar di negeri nihil bintang. Sunyi berkecamuk dan dingin angin mengamuk menyekap malam. Di dalam tempat peribadatan yang koyak—padat akan bekas peluru di fasad bangunan, seorang gadis lusuh bersimpuh meluapkan air mata. Muram matanya memercikkan duka. Seperti biasa, ia membubungkan doa tentang perdamaian; tentang cinta kasih; tentang kemanusiaan; tentang apa pun yang telah musnah di atas negerinya.

"Tuhan, esok, tahun sudah berganti. Tolong turunkan cahaya di tempat ini."

Gadis itu tiada penat-penatnya memohon. Walau badai menghantam hatinya, darah mengguyur raganya, ia tetap meletakkan bara cinta pada Tuhan. Ia yakin Tuhan ada; Tuhan tidak akan meninggalkan; Tuhan akan turun melabuhkan pelukan— meskipun ia sendiri tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan tanpa cela.

Malam meredup seperti nyala lilin yang tunduk atas gelap. Tiga menit sebelum kembang api meluncur indah di negeri sebelah, doa-doa kian lantam tercurah membanjiri udara. Sesudah dirasa cukup berdoa, gadis itu bersiap mengusap parasnya sebagai wujud penghabisan—dan kala jemarinya menyelimuti seluruh muka, tiba-tiba sepi pecah berkeping-keping.

Sshhh….

Bukan desis kembang api, tetapi lengking seonggok rudal jatuh menyambar tempat gadis itu. Meledak—memancarkan silau cahaya yang agresif. Seketika tubuh gadis itu menguap—melebur bersama udara malam yang kejam. Tersapu ke ketiadaan.

Sepertinya Tuhan punya cara lain untuk melipurkan rasa sakit gadis itu. Sebab esoknya—tahun yang baru. Negeri gadis itu menjelma jadi neraka paling berdarah. Bahkan malaikat pencatat amal buruk pun sampai menulis surat pengunduran diri:

Tuhan, aku tak sanggup lagi mencatat manusia-manusia.

Tangerang, 28 Oktober 2023

--

--

Dimas Eka Ramadhan

Gemar menggambar, menulis prosa/puisi, fotografi, dan kerajinan tangan